Setelah drama hamil hingga melahirkan, mengurus newborn, menyusui hingga per-MPASIan. Sampailah pada drama menguras tenaga dan air mata selanjutnya. TOILET TRAINING, alias latihan buang air di toilet. Niatnya sih sejak Haqqi usia 18 bulan alias satu setengah tahun udah mulai latihan lepas diaper. Maklum, ibuk kemakan omongan ibu-ibu lain yang dengan bangganya bilang anaknya udah bye bye sama diaper pas usia segitu. Apalah daya stok sabar tipis dan seret, diundur hingga usia 2 tahun lebih. Sebelumnya sempat mencoba mulai toilet training ketika usia Haqqi 24 bulan pas. Hasilnya? balik kanan bubar jalan. Ibuk cuma kuat 3 hari. Gak kuat bersihin ompol yang berceceran di rumah karena Haqqi masih agak miskomunikasi. Ibuk bilang 'Haqqi, kalo mau pipis bilang ya. Kita pipisnya di WC sekarang karena Haqqi udah ga pake diaper!'. Haqqi bilang sih, tapi pas dia udah buang air. Celananya udah basah dan ompol sudah meggenang di kaki. Akhirnya memutuskan mesra lagi dengan diaper sambil mempersiapkan mental biar lebih matang.
Setelah belajar (agak) banyak dari artikel opini di internet ditambah observasi langsung ke si bocah buat mastiin dia udah siap TOILET TRAINING apa belum, diputuskan TOILET TRAINING dimulai. Haqqi usia 27 bulan dan kita baru pulang mudik lebaran (mulai toilet training bulan Juli 2019). Rumah masih setengah kotor dan berantakan, jadi biarin aja sekalian kotor. Tapi Ibuk udah lebih pinter, tempat sholat udah dipindah dari ruang tengah ke kamar belakang yang memang kebetulan kosong dan jarang dijamah Haqqi.
Mulailah pelatihan menguras kesabaran. Marah-marah? so pasti, Ibuk kan temperamen. Tapi ditahan sebisanya, kan ada samsak gede (Apaknya anak-anak). Jadi kalo kesel tinggal ngadu ^^.
Hasilnya? Alhamdulillah Haqqi udah lulus tahap 1 dalam waktu 3 minggu. Bebas diaper mulai pagi (abis mandi) hingga sebelum tidur malam. Tidur siang pun dia udah seminggu terakhir ini ga ngompol. Padahal sebelumnya, hiiih, jangan ditanya. Ibuk udah kaya petugas laundry hotel, tiap hari nyuci seprai sama selimut. Ibuk gembira meskipun masih ribet nganterin dia ke toilet tiap buang air karena Haqqi belum nyampe nyalain lampu plus fan sendiri. Dompet bahagia karena kebutuhan diaper berkurang drastis, dari yang tadinya 4-5 buah per hari jadi tinggal 1-2 per hari buat tidur malam. Bayangin hematnya, 1 buah diaper ukuran XL harganya 2500 perak, dikali 3 dikali lagi 30 (untuk stok sebulan). Hahaha, bisa nambah pundi-pundi buat liburan deh!
Selanjutnya? Tahap 2 ya latihan tidur malam tanpa ompol. Tapi Ibuk ga buru-buru buat yang satu ini. Pertama sayang kasur, heee. Kedua memang normal kayanya bocah masih ngompol pas malam.
Jadi berdasarkan pengalaman melatih Haqqi buang air di toilet, Ibuk dapet kesimpulan.
1. Hal pertama yan harus disiapkan sebelum memulai toilet traning adalah mental ibu (pengasuh, kalu kondisinya anak dipegang pengasuh ketika ibu bekerja). Gak pake ngotot anak terbiasa buang air di toilet dalam sehari (inget-inget lagi perjuangan selama ini, ngajarin jalan, ngajarin makan dll dll. Semuanya butuh proses, masak mie instan aja harus rebus air dulu kan, gak tinggal hap!). Stok sabar yang banyak, tiap anak prosesnya beda, ada yang langsung bisa ada yang harus latihan banyak dan sering. Bagi ibu yang meminta bantuan pengasuh, komunikasikan dengan baik yang ibu inginkan dan kasih bonus juga kalau bisa ^^, ngepel ompol PR juga loh :)
2. Siapkan celana pendek yang gampang dilepas pakai agak banyak. Ngompol di celana memang hampir tidak mungkin dihindari, jadi sediakan celana ganti yang cukup. 'Males beli lagi, saya orangnya minimalis'. Ya nyucinya aja yang diperbanyak frekuensinya. Gampang kan! Begitu juga dengan seprai. Karena pelatihan tahap 1 versi Ibuk termasuk tidur siang juga, jadi siap-siap seprainya juga kena ompol pas waktu tidur siang. TIPS: celana dan seprai yang kena ompol harus segera dicuci (minimal dibilas air bersih sebelum 24 jam) biar bau pesing gak susah hilang.
3. Pastikan si anak sudah mengerti perintah-perintah sederhana. Misal, sudah bisa diminta ambilkan sesuatu atau bisa melakukan sesuatu yang kita suruh. Tes sederhana saja seperti ambil buku di meja, letakkan gelas di dapur, buka celana sendiri dll. Kalau belum lebih baik toilet training diundur dulu karena selain bisa buang air di toilet kalau Ibuk sendiri, goal dari toilet training lainnya adalah dia bisa mulai dari buka celana, buang air, membersihkan alat kelaminnya sendiri, membersihkan atau menyiram bekas buang airnya sampai pasang celananya lagi.
4. Catat atau ingat-ingat jadwal buang air si anak. Ini optional ya, jadi 3 hari di awal pendekatannya sangat halus. Biarkan si anak sadar sendiri bahwa ketika dia tidak menggunakan diaper lagi dan dia buang air, celananya akan basah dan jadi kotor (ketika BAB). Nah, ini waktunya ibu buat mengingat kira-kira si anak buang air berapa kali sehari, berapa menit setelah minum susu atau makan dia harus ke toilet, berapa kali dia BAB dan kapan jadwalnya (biasanya teratur jam maupun frekuensinya, pengecualian kalo diare dan sembelit). Buat ke depannya, tanyakan mendekati jam tersebut.
5. Mulai pendekatan men'sugesti' dengan gencar ^^. Ceritakan bahwa ibu dan ayah kalau buang air di toilet, jelaskan caranya (kalau perlu praktekan, ini optional juga ya tergantung keputusan ibu), kasih penjelasan bahwa dia sekarang sudah besar dan ajak buang air di toilet juga seperti ibu dan ayah. Hasil pengamatan ibuk sih, kalo Haqqi bukan tipe menerima perintah. Dia tipe mencontoh, jadi ketika dicontohkan bakal lebih cepat dia ikuti. Tanyakan dengan lembut setiap mendekati jadwal buang airnya apakah dia mau ikut ibu atau ayah buang air di toilet. TIPS: ketika anak bilang tidak mau atau tidak ingin, jangan dipaksa. Menyuruhnya menunggu di toilet bermenit-menit pun juga bukan pilihan yang tepat ^^. Biarkan kesadarannya muncul sendiri. Tenang bu, semua akan ada waktunya, just breath, inhale, exhale. Jangan lupa bekas ompol segera dipel, takut kepleset π.
6. Kalau bisa sediakan alat toilet training yang eye catching atau minimal bersihkan toilet dengan teratur. Haqqi waktu itu sempet menolak BAB di toilet, dan ketika Ibuk tanya kenapa, dia bilang toiletnya kotor. π΅ ketampar bolak balik. Langsung lapor Apak, minta tolong bersihin toiletnya lebih sering π¬.
7. Konsisten! Jangan bolong bolong ya toilet trainingnya. Harus teratur dan berkelanjutan sampai beres kaya minum antibiotik π.
Disclaimer: i'm not an expert, just an experienced mom with 2 children. my magister is science, neither psychology nor education.
Jadi berdasarkan pengalaman melatih Haqqi buang air di toilet, Ibuk dapet kesimpulan.
1. Hal pertama yan harus disiapkan sebelum memulai toilet traning adalah mental ibu (pengasuh, kalu kondisinya anak dipegang pengasuh ketika ibu bekerja). Gak pake ngotot anak terbiasa buang air di toilet dalam sehari (inget-inget lagi perjuangan selama ini, ngajarin jalan, ngajarin makan dll dll. Semuanya butuh proses, masak mie instan aja harus rebus air dulu kan, gak tinggal hap!). Stok sabar yang banyak, tiap anak prosesnya beda, ada yang langsung bisa ada yang harus latihan banyak dan sering. Bagi ibu yang meminta bantuan pengasuh, komunikasikan dengan baik yang ibu inginkan dan kasih bonus juga kalau bisa ^^, ngepel ompol PR juga loh :)
2. Siapkan celana pendek yang gampang dilepas pakai agak banyak. Ngompol di celana memang hampir tidak mungkin dihindari, jadi sediakan celana ganti yang cukup. 'Males beli lagi, saya orangnya minimalis'. Ya nyucinya aja yang diperbanyak frekuensinya. Gampang kan! Begitu juga dengan seprai. Karena pelatihan tahap 1 versi Ibuk termasuk tidur siang juga, jadi siap-siap seprainya juga kena ompol pas waktu tidur siang. TIPS: celana dan seprai yang kena ompol harus segera dicuci (minimal dibilas air bersih sebelum 24 jam) biar bau pesing gak susah hilang.
3. Pastikan si anak sudah mengerti perintah-perintah sederhana. Misal, sudah bisa diminta ambilkan sesuatu atau bisa melakukan sesuatu yang kita suruh. Tes sederhana saja seperti ambil buku di meja, letakkan gelas di dapur, buka celana sendiri dll. Kalau belum lebih baik toilet training diundur dulu karena selain bisa buang air di toilet kalau Ibuk sendiri, goal dari toilet training lainnya adalah dia bisa mulai dari buka celana, buang air, membersihkan alat kelaminnya sendiri, membersihkan atau menyiram bekas buang airnya sampai pasang celananya lagi.
4. Catat atau ingat-ingat jadwal buang air si anak. Ini optional ya, jadi 3 hari di awal pendekatannya sangat halus. Biarkan si anak sadar sendiri bahwa ketika dia tidak menggunakan diaper lagi dan dia buang air, celananya akan basah dan jadi kotor (ketika BAB). Nah, ini waktunya ibu buat mengingat kira-kira si anak buang air berapa kali sehari, berapa menit setelah minum susu atau makan dia harus ke toilet, berapa kali dia BAB dan kapan jadwalnya (biasanya teratur jam maupun frekuensinya, pengecualian kalo diare dan sembelit). Buat ke depannya, tanyakan mendekati jam tersebut.
5. Mulai pendekatan men'sugesti' dengan gencar ^^. Ceritakan bahwa ibu dan ayah kalau buang air di toilet, jelaskan caranya (kalau perlu praktekan, ini optional juga ya tergantung keputusan ibu), kasih penjelasan bahwa dia sekarang sudah besar dan ajak buang air di toilet juga seperti ibu dan ayah. Hasil pengamatan ibuk sih, kalo Haqqi bukan tipe menerima perintah. Dia tipe mencontoh, jadi ketika dicontohkan bakal lebih cepat dia ikuti. Tanyakan dengan lembut setiap mendekati jadwal buang airnya apakah dia mau ikut ibu atau ayah buang air di toilet. TIPS: ketika anak bilang tidak mau atau tidak ingin, jangan dipaksa. Menyuruhnya menunggu di toilet bermenit-menit pun juga bukan pilihan yang tepat ^^. Biarkan kesadarannya muncul sendiri. Tenang bu, semua akan ada waktunya, just breath, inhale, exhale. Jangan lupa bekas ompol segera dipel, takut kepleset π.
6. Kalau bisa sediakan alat toilet training yang eye catching atau minimal bersihkan toilet dengan teratur. Haqqi waktu itu sempet menolak BAB di toilet, dan ketika Ibuk tanya kenapa, dia bilang toiletnya kotor. π΅ ketampar bolak balik. Langsung lapor Apak, minta tolong bersihin toiletnya lebih sering π¬.
7. Konsisten! Jangan bolong bolong ya toilet trainingnya. Harus teratur dan berkelanjutan sampai beres kaya minum antibiotik π.
Disclaimer: i'm not an expert, just an experienced mom with 2 children. my magister is science, neither psychology nor education.
0 komentar:
Posting Komentar